Bila kau tak bisa jadi yang terbaik, jadilah yang berbeda
“Bila kau tak bisa jadi yang terbaik, jadilah yang berbeda”. Kutipan yang tidak asing, namun menjadi tuas kehidupan bagi sebagian orang.
Menjadi yang terbaik. Ya, setiap orang berusaha sekuat tenaga demi mewujudkan itu. Lalu terlintas dalam pikiran, apakah indikator untuk menjadi yang terbaik itu? Seseorang yang terbaik ialah dia yang memiliki kriteria-kriteria superior yang disetujui oleh mayoritas. Seringkali kita melihat bahwa menjadi yang terbaik diidentikkan dengan menjadi yang nomor satu. Padahal tak semestinya begitu. Dia nomor satu di bidang atletik, belum tentu dia nomor satu dalam seni. Lalu ada yang menyanggah, “menjadi yang terbaik, tidak harus menjadi nomor satu di segala bidang. Karena manusia bukanlah makhluk sempurna.”. Jika menjadi yang terbaik tidak bisa digeneralisasikan dan hanya terkotak pada bidang-bidang tertentu, maka tidak sepantasnya seseorang merasa kecewa jika ia belum bisa menjadi yang terbaik dalam suatu hal. Seharusnya ia berusaha menjadi yang terbaik dalam bidang lain yang mungkin lebih sesuai dengan dirinya. Tidak sepantasnya dia melabeli dirinya sendiri sebagai orang tak berbakat, atau bahkan lebih parah lagi orang tak berguna. Demikian pula dengan orang lain. Orang yang hanya mengetahui dari apa yang bisa terlihat dan terdengar tidak sepantasnya melabeli seseorang hanya karena dia belum berhasil dalam suatu bidang.
Lalu, bagaimana jika di segala bidang ia tak dapat menjadi yang terbaik? Jawabannya adalah: menjadi yang berbeda.
Kemudian terbesit, apa indikator untuk menjadi yang berbeda itu? Seseorang yang berbeda adalah ia yang memiliki kriteria-kriteria superior orang minoritas. Menjadi berbeda diidentikkan dengan mereka yang tidak sejalan dengan nilai yang dijalani orang mayoritas. Ada pribadi yang merasa sedih ketika mengetahui dirinya berbeda. Namun disisi lain, ada pribadi yang sedang berjuang untuk membedakan diri. Lalu, terlintas pemikiran. Bukankah pada hakikatnya manusia diciptakan dalam keadaan yang berbeda-beda? Lalu harus sebeda apalagi?
Pada dasarnya, menjadi yang terbaik dan menjadi berbeda semata-mata adalah karena ingin terlihat. Manusia adalah makhluk yang menginginkan perhatian. Dengan menjadi yang terbaik dan atau menjadi berbeda, mata akan otomatis berfokus pada orang tersebut. Lalu bagaimana jika gelar menjadi yang terbaik dan menjadi yang berbeda tidak berada dalam suatu pribadi? Maka yang terjadi adalah dia tidak terlibat dalam fokus pandang para manusia. Namun tak semestinya pribadi tersebut bersedih. Karena, jika masih ingat, masih ada Tuhan.
Tuhan adalah Sang Pencipta. Tuhan menciptakan manusia. Karena itulah, Tuhan tidak sama dengan manusia. Indera manusia terbatas, apalagi mata. Mata tak dapat memandang seseorang yang berada dibalik tembok. Indera manusia menipu, lagi-lagi mata. Gunung yang jauh terlihat kecil, namun pada kenyataannya sangatlah besar. Namun Tuhan tidak demikian. Tuhan dapat mengawasi semua umatnya, bahkan sampai gerak-geriknya. Tuhan dapat mendengar semua pembicaraan umatnya, bahkan sampai gumaman dalam hatinya. Lalu, masih pantaskah kita bersedih hanya karena tidak mendapat perhatian dari manusia lain? Padahal kita adalah makhluk yang sama. Manusia. Sama-sama ciptaan Tuhan. Ya, kita semua adalah makhluk sama yang dibuat berbeda. Meskipun demikian, kita dapat menentukan perbedaan kita sendiri. Jika masih ingat, yang membedakan manusia di hadapan Tuhan adalah ketakwaannya.
Menjadi yang terbaik. Ya, setiap orang berusaha sekuat tenaga demi mewujudkan itu. Lalu terlintas dalam pikiran, apakah indikator untuk menjadi yang terbaik itu? Seseorang yang terbaik ialah dia yang memiliki kriteria-kriteria superior yang disetujui oleh mayoritas. Seringkali kita melihat bahwa menjadi yang terbaik diidentikkan dengan menjadi yang nomor satu. Padahal tak semestinya begitu. Dia nomor satu di bidang atletik, belum tentu dia nomor satu dalam seni. Lalu ada yang menyanggah, “menjadi yang terbaik, tidak harus menjadi nomor satu di segala bidang. Karena manusia bukanlah makhluk sempurna.”. Jika menjadi yang terbaik tidak bisa digeneralisasikan dan hanya terkotak pada bidang-bidang tertentu, maka tidak sepantasnya seseorang merasa kecewa jika ia belum bisa menjadi yang terbaik dalam suatu hal. Seharusnya ia berusaha menjadi yang terbaik dalam bidang lain yang mungkin lebih sesuai dengan dirinya. Tidak sepantasnya dia melabeli dirinya sendiri sebagai orang tak berbakat, atau bahkan lebih parah lagi orang tak berguna. Demikian pula dengan orang lain. Orang yang hanya mengetahui dari apa yang bisa terlihat dan terdengar tidak sepantasnya melabeli seseorang hanya karena dia belum berhasil dalam suatu bidang.
Lalu, bagaimana jika di segala bidang ia tak dapat menjadi yang terbaik? Jawabannya adalah: menjadi yang berbeda.
Kemudian terbesit, apa indikator untuk menjadi yang berbeda itu? Seseorang yang berbeda adalah ia yang memiliki kriteria-kriteria superior orang minoritas. Menjadi berbeda diidentikkan dengan mereka yang tidak sejalan dengan nilai yang dijalani orang mayoritas. Ada pribadi yang merasa sedih ketika mengetahui dirinya berbeda. Namun disisi lain, ada pribadi yang sedang berjuang untuk membedakan diri. Lalu, terlintas pemikiran. Bukankah pada hakikatnya manusia diciptakan dalam keadaan yang berbeda-beda? Lalu harus sebeda apalagi?
Pada dasarnya, menjadi yang terbaik dan menjadi berbeda semata-mata adalah karena ingin terlihat. Manusia adalah makhluk yang menginginkan perhatian. Dengan menjadi yang terbaik dan atau menjadi berbeda, mata akan otomatis berfokus pada orang tersebut. Lalu bagaimana jika gelar menjadi yang terbaik dan menjadi yang berbeda tidak berada dalam suatu pribadi? Maka yang terjadi adalah dia tidak terlibat dalam fokus pandang para manusia. Namun tak semestinya pribadi tersebut bersedih. Karena, jika masih ingat, masih ada Tuhan.
Tuhan adalah Sang Pencipta. Tuhan menciptakan manusia. Karena itulah, Tuhan tidak sama dengan manusia. Indera manusia terbatas, apalagi mata. Mata tak dapat memandang seseorang yang berada dibalik tembok. Indera manusia menipu, lagi-lagi mata. Gunung yang jauh terlihat kecil, namun pada kenyataannya sangatlah besar. Namun Tuhan tidak demikian. Tuhan dapat mengawasi semua umatnya, bahkan sampai gerak-geriknya. Tuhan dapat mendengar semua pembicaraan umatnya, bahkan sampai gumaman dalam hatinya. Lalu, masih pantaskah kita bersedih hanya karena tidak mendapat perhatian dari manusia lain? Padahal kita adalah makhluk yang sama. Manusia. Sama-sama ciptaan Tuhan. Ya, kita semua adalah makhluk sama yang dibuat berbeda. Meskipun demikian, kita dapat menentukan perbedaan kita sendiri. Jika masih ingat, yang membedakan manusia di hadapan Tuhan adalah ketakwaannya.
Aamiin
BalasHapusAku jdi termotivasi utk tdk malu dan rendah dri
BalasHapus