Hujan Pertama di Penghujung Kemarau

"Ah sial! Kenapa air minum habis di saat seperti ini sih?" Ujarku dengan nada kesal. Kesal sekali.
Bagaimana tidak? Ini adalah hari pertama aku kedatangan tamu bulanan. Dan pasti hanya wanita yang tahu bagaimana rasanya. Sakit yang mampu membuatku tidak nyaman dan mampu membuat emosiku naik turun tak karuan.

Dengan sangat terpaksa aku bergegas mencari air minum meskipun matahari sudah bersembunyi dengan sempurna di barat sana. Ya, disaat kehilangan darah begini, tentu hidrasiku harus tetap terjaga. Dengan langkah kaki yang berat dan hati yang malas, aku melangkah menuju garasi menghampiri si "Taufik" agar menemaniku berkelana mencari air minum.

Taufik adalah panggilan sayangku pada motorku. Dengannya aku telah menempuh jarak beribu-ribu kilometer mengarungi kota yang istimewa ini. Jogja. Tak terhitung sudah berapa kali hujan dan panas yang ku terjang bersama Taufik selama tiga tahun ini. Ya, aku adalah anak rantau dari sebuah desa di Kabupaten termiskin di Jawa Tengah. Bersama Taufik, aku berkenalan dengan sudut-sudut Jogja.

Bergegaslah aku dan Taufik menembus malam Jogja yang cukup padat dengan kendaraan. Ditemani sorot temaram lampu jalanan dan suara klakson yang riuh bagai gerimis. Oh, Jogja, kini engkau sudah mirip seperti Jakarta yang ku lihat di televisi. Orang-orangnya gemar sekali berteriak melalui klakson di persimpangan jalan berlampu merah.

Tanpa terasa sampailah aku di destinasi perbelanjaan. Tak perlu berlama-lama, segera ku menuju kasir seusai tujuanku tercapai: air minum surga.

Sialnya, ini adalah awal bulan. Orang-orang membelanjakan gajinya untuk kebutuhan bulanan sebelum gaji itu mengalir sia-sia ke tempat yang salah. Antrian kasir panjang sekali bak benang yang diurai. Meskipun kasir lebih dari satu, tapi pembeli lebih dari seratus.

Sepertinya hanya bersabar yang bisa ku lakukan saat ini. Ku tahan sekuat tenaga rasa haus ini disaat emosiku yang tidak stabil. Sialnya, tubuhku mulai terasa seperti hampir melayang. Keringat dingin bercucuran bak minuman kaleng yang baru keluar dari lemari pendingin. Tubuhku, tolong bertahan sebentar lagi. Hanya tinggal empat orang lagi hingga giliran kita merampungkan ini di depan kasir.
Namun tampaknya tubuhku sedikit merajuk, sama seperti emosiku yang sedang naik turun. Lama-kelamaan pandanganku mulai kabur. Gawat. Jika tidak segera minum, bisa-bisa aku terjatuh di sini. Dengan sangat terpaksa, persetan dengan harga diri, aku akan jongkok hingga giliranku tiba.

Huh. Leganya! Akhirnya tubuhku berhasil melalui ini dengan sukses. Aku tetap sadar hingga transaksi selesai.

Tubuhku memang lemah sejak dulu. Aku tidak tahan jika harus berdiri dalam jangka waktu lama. Aku pernah hampir pingsan ketika apel pramuka. Pernah pula hal serupa terjadi ketika upacara pembukaan ospek. Dan, bahkan sebelum peristiwa hari ini, aku juga pernah hampir pingsan ketika sedang mengantri di kasir. Tapi sekarang tak masalah. Air minum telah berada di genggamanku. Hidrasiku akan normal kembali.

Baiklah, ini saatnya aku dan Taufik kembali ke kosan, mengingat hari sudah semakin malam.
"Sial!", gumamku lirih tapi tajam. Memang, aku telah selamat karena telah meneguk air, tapi aku lupa untuk memberi minum Taufik. Bensin Taufik kritis. Saat ini yang bisa ku lakukan hanyalah mengendarainya sambil harap-harap cemas semoga Taufik sanggup berjalan hingga tempat pengisian bensin terdekat. Namun sayangnya, tempat pengisian terdekat itu cukup jauh dari lokasiku saat ini.

"Bertahanlah Taufik! Bertahanlah! Aku yakin kamu kuat. Kamu pasti bisa, Fik!" Teriakku dalam hati.

Naas.
Taufik mogok di tengah jalan. Rasanya ingin menangis. Bukan, bukan karena aku bersedih akibat malu harus menuntun Taufik dihari yang sudah gelap ini. Tapi aku bersedih karena aku telah menyakiti Taufik. Aku telah dzalim kepada Taufik yang selalu setia menemaniku kemanapun.

Dengan terpaksa, aku dengan tubuh mungil yang lemah ini menuntun Taufik sendirian malam-malam begini. Menembus lalu lintas Jogja yang bisa dibilang cukup ramai. Sesekali kendaraan-kendaraan yang lewat menyapaku dengan klakson merdunya. Mungkin keberadaanku dan Taufik telah merenggut beberapa sentimeter jalur mereka karena kami lambat. Maaf jika memang begitu. Kalau boleh jujur, aku juga tak menginginkan Taufik berhenti di tengah jalan seperti ini. Yang bisa ku lakukan hanyalah bersabar. Meskipun perlahan, semoga aku lekas menemukan minum untuk Taufik.

Memang lengkap sekali nikmat Tuhan yang diberikan kepadaku hari ini. Sakit karena menstruasi hari pertama, kehausan sampai hampir tidak kuat mengantri di kasir, menuntun Taufik malam-malam dalam jarak yang lumayan melelahkan, dan satu lagi, penjual bensin eceran terdekat sudah tutup.

"Ya Allah, aku lelah. Tolong jangan biarkan aku pingsan gara-gara menuntun motor dalam jarak berkilo-kilo meter"

Seperti itulah kiranya Doa yang ku lontarkan ditengah bisingnya kendaraan yang berlalu-lalang. Ya, tentu masih disertai teriakan klakson sekali dua kali.

Tapi, tiba-tiba salah satu dari sekian motor yang lalu-lalang itu, berjalan lebih lambat di belakangku.

"Kenapa Bu, eh, Mbak?" tanya seseorang itu sembari menoleh kepadaku. Masih di atas motornya yang berjalan lambat.

"Kehabisan bensin, hehe," Jawabku sembari tertawa.

Kemudian seseorang itu menjauh.
Ya, setidaknya masih ada orang yang peduli dan berusaha menanyakan ketika ada orang yang sekiranya memerlukan bantuan.

Aku masih lanjut menuntun Taufik menuju tempat pengisian bensin. Lelah sekali rasanya, bagaikan menuju surga yang notabene sangat penuh perjuangan. Tapi tubuhku tidak bisa berbohong. Perjalanan ini ternyata cukup menguras tenaga hingga akhirnya ku putuskan untuk beristirahat sejenak.

Tak disangka-sangka, dari arah berlawanan seseorang menghampiriku dengan sebotol bensin di tangan kirinya.
Ternyata dia adalah orang yang tadi menanyaiku.
Perasaan senang dan terkejut bercampur aduk, hingga tak sanggup berkata-kata, reflek tanganku langsung membuka jok untuk memberi minum si Taufik.

"Rumahnya mana, Mbak" katanya, membuka percakapan.
"Di daerah sana mas, deket UNY" jawabku sambil menunjuk lokasi tempat tinggalku di Jogja.
"Oh, mahasiswa toh. Kuliah dimana?" lanjutnya,
"UGM, mas, hehe"
"Ambil apa di UGM?
"FKG,"
"Oh, kalau saya psikologi. semester berapa?"
"semester 7, kalo mas nya?"
"saya semester 9"

kemudian ku tutup jokku karena pengisian bensin telah selesai.

"Makasih banyak ya Mas," ucapku yang hampir terharu karena pertolongan Allah yang tak terduga ini.
Dia menjawabnya dengan senyuman, kemudian bersiap untuk pergi.
"Eh mas, ini berapa?" tanyaku, merasa berhutang.
"Nggak usah mbak," jawabnya dengan senyum.
"wah, makasih banyak ya Mas, makasih" jawabku dengan senyum syukur.

Kemudian orang itu berlalu. Ku lihat, dia sempat berhenti sejenak di depan sana, mungkin untuk memastikan motorku dapat hidup lagi.

Ku starter si Taufik, dan alhamdulillah, Taufik dapat berjalan kembali.
Sorot lampu Taufik mengiringi kepergian si penolong yang tadi berhenti di depanku agak jauh.


***

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer